Indonesia merupakan
negara yang memiliki gunung api terbanyak di dunia, dimana setidaknya pada
tahun 2012 terdapat 127 gunung berapi aktif yang membentang dari Pulau Sumatera
hingga Papua. Aktivitas vulkanik di Indonesia tidak terlepas dari adanya
pengaruh dari pertemuan 3 lempeng (Eurasia, Indo-Australi dan Pasifik) yang
mengapit kepulauan-kepulauan yang ada di Indonesia. Dampak pergerakan lempeng
mengakibatkan munculnya zona subduksi dimana lempeng samudera bergesekan dan menujam
ke bawah lempeng benua menimbulkan panas dan melelehkan lapisan batuan yang kemudian
naik ke permukaan sebagai magma sehingga memunculkan gunung berapi serta potensi
bencana gempa bumi.
Ancaman
bencana vulkanik dan seisme datang silih berganti menerpa Indonesia, menyisakan
memori dan kewaspadaan bagi peduduknya. Dalam sejarah bencana yang terkait
dengan vulkanik dan seisme terdapat potensi/kekuatan yang dinyatakan dalam
satuan dan indikator/tanda dimana masyarakat pada umumnya dapat memahami dampak
yang dapat ditimbulkan sehingga mampu menyikapi secara arif.
1. Skala
Mercalli
Skala Mercalli adalah satuan untuk mengukur kekuatan gempa
bumi. Satuan ini diciptakan oleh seorang vulkanologis dari Italia yang bernama Giuseppe Mercalli pada tahun 1902. Skala Mercalli terbagi menjadi 12 pecahan
berdasarkan informasi dari orang-orang yang selamat dari gempa tersebut dan
juga dengan melihat dan membandingkan tingkat kerusakan akibat gempa bumi
tersebut. Oleh karena indikator yang bersifat subjektif akhirnya pada
tahun 1931 skala kegempaan ini dimodifikasi ulang oleh ahli seismologi Harry Wood dan Frank Neumann
untuk memudahkan perkiraan kekuatan gempa apabila pada suatu wilayah tidak
terdapat alat pencatat gempa.
2. Skala
Richter
Merupakan salah satu satuan yang umum dipakai
untuk menyatakan kekuatan/magnitudo gempa, dimana satuan ini diciptakan oleh
seorang vulkanologis dari Amerika Serikat bernama Charles Richter pada tahun
1935. Untuk mempermudah orang dalam memperkirakan magnitudo gempa maka
dibuatlah tabel indikator berikut :
Dalam sejarah kegempaan,
para ilmuwan memperkirakan pernah terjadi gempa terbesar yang diakibatkan
adanya tumbukan asteroid ke perumukaan bumi yang kemudian membentuk kawah di
Meksiko. Kawah Chicxulub merupakan
kawah di Semenanjung Yukatan, Meksiko.
Kawah ini berdiameter 180 km, dari ukurannya yang sanggat lebar, para ahli
memperkirakan kawah ini terbentuk akibat tumbukan benda luar angkasa dengan
kecepatan 45.000 mil/jam, yang terjadi pada zaman kapur/cretaceous 65,6 juta
tahun yang lalu. Hanya 1 detik setelah tumbukan, setiap area sekitar
300 km dari tumbukan hancur, dan setelah beberapa detik, gelombang kejut menghempaskan
semua makhluk hidup di sekitarnya, terutama Amerika utara. Fenomena inilah yang
menyebabkan kepunahan dinosaurus, gempa sebagai dampak tumbukan hebat ini
mencapai 12,5 skala ricther menjalar ke seluruh penjuru bumi 30 menit setelah
tumbukan terjadi dan memicu munculnya megatsunami setinggi 3 kilometer di
berbagai benua. Gempa besar lainnya yang pernah tercatat ialah gempa yang
terjadi di Chille pada 1960 dengan magnitudo 9.5 skala richter dan gempa yang
pernah terjadi di Price William Sound di Teluk Alaska Amerika Serikat dengan
magnitudo 9.2 skala richter dan lebih dikenal sebagai gempa Jumat Agung karena
gempa ini bertepatan dengan momentum Jumat Agung pada tahun 1964.
Gempa Aceh atau dikenal para ilmuwan dengan sebutan gempa Sumatera-Andaman pada tahun 2004 merupakan
gempa terbesar ketiga sejak tahun 1900 dengan magnitudo 9.1 skala richter
(USGS) dan merupakan gempa yang mengakibatkan getaran terlama yang pernah
berlangsung selama 8,3-10 menit dengan menelan jumlah korban jiwa lebih dari
230.000 jiwa.
(Illustrasi : Tumbukan asteroid - Kawah Chicxulub Meksiko)
3. VEI (Volcanic
Explosivity Index)
Volcanic
Explosivity Index (VEI) dirumuskan oleh
Chris Newhall (U.S. Geological Survey) dan Steve Self di University of
Hawaii pada tahun 1982 untuk mengukur kekuatan dan besaran relatif letusan
gunung berapi. Jumlah volume material, ketinggian lontaran material erupsi,
dan observasi kualitatif hasil pengamatan dijadikan tolak ukur dalam menentukan
tingkat/nilai explosivitas letusan. Skala paling tinggi (magnitude 8 ) diberikan
untuk letusan terbesar dalam sejarah.
Indonesia sebagai
negara terbanyak yang memiliki gunung berapi ternyata menyimpan sejarah kelam terkait
bencana kegunungapian. Dimana pada tahun 1939, geolog Belanda Van Bemmelen melaporkan, Danau
Toba, yang panjangnya 100 kilometer dan lebarnya 30 kilometer, dikelilingi oleh
batu apung peninggalan dari letusan gunung berapi. Hal tersebut
dijadikan indikator bahwa Danau Toba yang terletak pada ketinggian 900 mdpl dahulunya
merupakan hasil deformasi dari sebuah gunung api Toba purba yang kini membentuk
Danau Toba dan Pulau Samosir di tengahnya. Danau Toba terbentuk saat ledakan sekitar 74.000 tahun
yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super)
yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan
Technological University memperkirakan
bahwa jumlah total material pada letusan sekitar 2.800 km3 -sekitar 2.000 km3 dari Ignimbrit yang mengalir di atas
tanah dan sekitar 800 km3 yang jatuh sebagai abu terutama ke barat. Aliran
piroklastik dari letusan menghancurkan area seluas 20.000 km2, dengan deposito abu setebal 600 m dengan kawah utama.
Penelitian-penelitian modern (misalnya Rose dan Chesner, 1987) menunjukkan
bahwa abu volkanik Toba menyebar di seluruh Asia Selatan sampai India dan juga mengendap di dasar laut Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan,
meliputi kawasan seluas 4 juta km² dan volume materi letusan minimal 2800 km³. Ditemukannya
endapan danau (diatomite) di Pulau Samosir menunjukkan bahwa Pulau Samosir
pernah berada di bawah muka danau. Bila diperhitungkan, pulau ini telah
terangkat paling sedikit 700 meter sejak letusan mega-kolosal Toba terjadi.
Letusan Toba 74.000 tahun lalu telah menghasilkan 3 milyar ton abu halus
dan aerosol H2SO4 dan SO2 yang terlontar setinggi 27-37 km menginjeksi atmosfer
dan sangat signifikan mengurangi transmisi sinar Matahari ke
permukaan Bumi (Rampino dan Self, 1992; Chesner dkk., 1991). Diperhitungkan
bahwa transmisi sinar Matahari saat itu hanya 0,001-10 %. Menurunnya
daya terima sinar Matahari ini telah menyebabkan temperatur menurun 3-5°C. Saat
itu Zaman Es sedang menjelang, dan letusan Toba diyakini telah mempercepat
datangnya Zaman Es ini. Toba juga telah melepaskan sebanyak 540 milyar ton air
yang naik sampai stratosfer dan dapat mengubah gas belerang yang dilontarkan
Toba menjadi 1-10 milyar ton aerosol H2SO4. Mengenai hal ini, para ahli
umumnya sepakat bahwa letusan megakolosal Toba telah memicu atau mempercepat
musim dingin sesuai siklus geologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar